Berdasarkan dari beberapa informasi dari blog kawan kawan dan dari situs berita online, dari total kebutuhan kedelai sebesar 3 juta ton per tahun, lebih dari 2 juta ton diantarannya merupakan produk impor. Sebuah fakta yang cukup menyedihkan jika melihat potensi pertanian Indonesia yang sangat melimpah di bidang Pertanian karena memang (dulu) Indonesia dikenal sebagai salah satunya negara agraris.
Untuk menekan harga pangan di pasaran dalam jangka pendek, impor mungkin bisa jadi solusi paling cepat. Tapi solusi semacam ini hanya bersifat reaktif. Dan seringkali solusi reaktif tidak cocok untuk digunakan solusi dalam jangka panjang. Bahkan sebaliknya, hal itu bisa membuat para petani dalam negeri semakin merugi.
oke,, saya mencoba untuk mengurainya..
Ketergantungan terhadap barang impor tidak bisa dihindarkan, gimana mau kagak,,, kita masih belum bisa memenuhi swasembada di dalam negeri karena memang beberapa alasan, pertama, kebanyakan masyarakat kita berfikiran barang ato apapun yang dikonsumsi klo uda berlabel impor pasti lebih baik mutunya ketimbang produk lokal, dan juga kenyataan di lapangan barang impor lebih murah harganya ketimbang barang lokal (tapi gag tau kalo mutunya). Dan juga kebijakan pemerintah yang masih memandang sektor pertanian sebelah mata so beberapa kebijakan tidak mendukung majunya sektor pertanian; solusi yng bisa ditawarkan, kita bisa meng”kaizen”kan kebijakan di beberapa negara dengan benar2 memperketat syarat masuk barang impor ke negaranya tujuannya satu untuk membatasi produk impor di negerinya sehingga produk lokal bisa bernapas, dan pastinya harus ada dukungan dari pemerintah untuk ini, “berikan umpan jangan ikannya” seperti pemberdayaan petani dengan membentuk koperasi petani karena selama ini petani selalu ‘dibawah ketiak’ para tengkulak. kemudian untuk semakin menyempitnya area pertanian selain alasan masi belum sepenuh hati untuk mengembangkan sektor pertanian juga karena alasan dari pemilik lahan pertanian (pelaku=petani) bahwa dengan itung2an kasar saja lahan dibuat untuk budidaya (misal) padi selama setahun masih jauh dibandingakn dengan menjual lahannya kepada kontraktor (sebuah ironi) di beberapa daerah di jawa hal ini terjadi. hal ini terjaadi karena tidak ada penaungan terhadap para pelaku pertanian dan sektor tersebut,,, dan juga pastinya ada faktor kepentingan didalamnya.